Kamis, 18 Agustus 2011

Kepopuleran Animasi Jepang Bag II

Amerika memang negara adidaya. Segala hal yang dihasilkan dari negara ini hampir selalu menjadi trendsetter di seluruh dunia, termasuk karya animasinya. Siapa anak-anak Indonesia yang tidak mengenal Spongebob Squarepants atau Dora? Belum lagi film animasi tiga dimensi karya Pixar Studio yang selalu laris di pasaran seperti Monster Inc, Finding Nemo, The Incredibles dan Up yang saat ini sedang diputar di bioskop.



Namun dalam hal animasi, Amerika masih kalah dibanding Jepang. Komik-komik Jepang (manga) dan film-film animasi Jepang (anime) terbukti memiliki pasar konsumen yang sangat besar, tidak hanya di negerinya sendiri. Pada tahun 2002 saja, estimasi nilai transaksi produk-produk anime di Amerika Serikat mencapai 4.3 miliar US dolar, nilai yang bahkan empat kali lebih besar dari nilai ekspor baja Jepang ke negeri Paman Sam.


Menurut Denny A. Djoenaid, Ketua Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (AINAKI), kekuatan Jepang dalam hal animasi terletak pada unsur kebudayaannya. Para animator negara sakura tersebut selalu menampilkan tradisi kebudayaan mereka yang memang berbeda dengan negara Asia lainnya. Denny mencotohkan gaya dandan dan berpakaian anak muda Jepang yang banyak ditiru oleh para remaja di Indonesia.


“Termasuk pengaruh saat membuat gambar animasi. Orang-orang Indonesia lebih senang menggambar tokoh seperti manga Jepang daripada membuat tokoh versi masyarakat Indonesia,” ujar Denny.


Di Indonesia sendiri, tren animasi lokal sudah mulai terlihat. Ada dua film animasi buatan anak negeri yang sempat tayang di bioskop, yaitu Janus Prajurit Terakhir dan Homeland. Sedangkan untuk serial televisi lokal dan nasional, ada Kabayan Liplap, Aku Tahu, Zedi, Kumbang Cilik serta Petualangan Tupi dan Pingping. Apa pula film animasi pendek tentang superhero asal Tasikmalaya, Hebring. Namun menurut Denny, karya-karya animasi lokal ini masih terganjal pada dua hal, minimnya tayangan di televisi dan Sumber Daya Manusia (SDM) itu sendiri.



“Kesempatan untuk memperlihatkan hasil animasi lokal di televisi masih kalah dengan penayangan kartun-kartun dari luar negeri karena daya beli mereka lebih murah (membeli lisesi produk jadinya saja-red). Sedangkan produksi animasi lokal ‘kan proses pra produksi sampai pasca produksi dikerjakan sendiri, jadi biaya hak siarnya pun lebih mahal,” jelas pria berkacamata ini.


Denny melanjutkan, SDM atau tenaga pengajar animasi di Indonedia juga masih sangat minim. “Padahal setahu saya potensi anak muda yang berbakat di bidang ini sangat besar, seperti di Jogjakarta, Bandung, Malang, Denpasar, termasuk di Jakarta,” ucapnya.


Terlepas dari kekuarangan tersebut, Marlin Sugama sebagai salah satu animator Indonesia, menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya adalah salah satu negara yang memiliki latar belakang animasi tertua, yaitu penciptaan wayang.


“Dan hal tersebut sangat memperkaya dan mendorong jumlah animator di Indonesia. Dengan animator yang banyak tentunya akan banyak pula variasi karya, tapi secara keseluruhan kita patut bangga pada animasi Indonesia,” tutur Marlin.


Wanita yang juga menciptakan tokoh superhero Hebring bersama suaminya Andi Martin ini, juga mengungkapkan bahwa jika disandingkan dengan negara lain, animasi lokal tidak bisa dibandingkan dari satu sisi saja, karena animasi adalah produk teknologi (terutama yang tiga dimensi) dan sangat tergantung pada SDM.



“Maka sisi teknologi dan SDM terlatih akan menjadi tantangan nomor satu untuk animasi Indonesia agar bisa menghasilkan produk bersaing dengan negara lain,”kata Marlin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar